30 November 2013

Malam, gelapmu begitu lembut
Selembut perangaiku sembunyikan gemarku padanya
Malam, pelukmu begitu dingin
Sedingin hatiku kala mendapat senyumnya
Malam, derik jangkrik begitu berisik
Seberisik teriakan lubuk hati yang mengusik
Malam, langitmu sungguh indah
Tapi tak kan selalu indah layaknya perasaan mengusik ini untuknya

Awan hitam tutupi warna indahmu, juga cinta sejatiku.

Aku Malu

Kemarin aku mendapati mu sedang duduk sendirian. Di taman penuh bunga ditemani novel komedi favoritmu. Aku sengaja mendekat dan lewat tepat di depan mu. Tak seberkas cahaya dari bayanganku pun ditangkap mata cantikmu. Aku bejalan menjauh, berhenti dan duduk diam bersandar di monumen taman. Memandangi mu dari kejauhan, kulihat kau begitu khusyuk, resapi cerita dari novel kesayanganmu itu. Walau itu novel komedi, ekspresi yang keluar dari wajahmu seperti membaca buku teori Cobb Douglas. Dan aku tak percaya, kau tetap cantik.

Langit mulai memerah, dua jam tak terasa aku terus memandangi mu begitu awas. Kau menutup novelmu dan memasukkannya ke dalam tas sandang warna coklat bercorak etnis batak. Kau mulai beranjak, bergegas meninggalkan taman dan aku memperhatikan langkahmu. Aku mengikutimu sampai ke luar taman. Hanya sekedar ingin tahu, bersama siapa kau pulang. Kau duduk di halte yang ada di depan taman begitu tenang. Dan aku tak percaya, kau pulang naik bus kota.

Pagi tadi, aku berpapasan dengan mu. Kau mengenakan seragam pegawai kantoran. Kau tampak buru-buru sambil berlari kecil seperti ditunggu petinggi negara. Aku melambatkan langkah ku, memandang fokus kepada mu. Sampai badanku berputar mengikuti arah pandangan mataku. Tapi tak sekejap pun kau melihat ke arah ku. Aku hanya bisa tercengang melihat mu sampai lama. Dan aku tak percaya, kita bekerja di kantor yang sama.

Bell kantor berdering tanda jam kerja berakhir. Aku bergegas merapikan tas kerja ku. Langsung keluar menuju halte berharap bisa melihat mu lagi. Aku duduk di ujung bangku halte. Tak lama kau terlihat berjalan bersama tiga pria menuju halte berbarengan. Ku perhatikan kau begitu akrab mengobrol dan bercanda dengan mereka di ujung bangku sebelah sana. Mungkin itu rekan-rekan mu, tapi aku semakin penasaran. Bus yang kutunggu telah datang, aku masih duduk, sekedar pastikan apakah kau naik di bus yang sama. Dan aku tak percaya, kita pulang dengan bus yang sama.

Kau langsung naik dari pintu belakang dan aku tergopoh-gopoh berjalan ke bagian belakang bus dan juga masuk dari pintu belakang. Berharap bisa duduk bersebelahan denganmu, dengan sigap aku mengikuti mu. Usahaku tak sia-sia, kita duduk bersebelahan. Tak ada yang ku ingin darimu, selain berkenalan atau sekedar mengobrol. Tapi itu tak mudah bagiku. Detak jantungku mulai tak beraturan, bibirku bergetar seperti kedinginan, lutut-lututku lemas seperti akan lepas. Bahkan untuk sekedar memainkan ponsel saja, jari-jari tanganku seperti tak berdarah lagi. Satu jam perjalanan berlalu, dan kita masih saling berdiaman. Tak lama kemudian kau berteriak kepada sopir bus “Bang.. kiri ya!”. Suara mu, seketika sekujur tubuhku seperti dikuliti malaikat. Jantungku seperti berhenti berdetak. Nyawaku seperti akan diangkat oleh sang Khalik. Kau membayar ongkos bus dan berjalan turun dengan anggun. Dari luar kau melihat ke arah jendela dan tersenyum ke arah ku. Dan aku tak percaya, kau adalah laki-laki.

------TAMAT------

Salam tak percaya~